CANDI JABUNG
Candi Jabung terletak di Desa Jabung Candi, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur. Candi ini pernah disebut dalam kitab babad Nagarakrtagama, khususnya pada bagian yang memaparkan perjalanan raja Hayam Wuruk (Rajasanagara). Rajasanagara dikenal sebagai salah seorang raja yang “memperhatikan” berbagai bangunan pemujaan untuk para leluhurnya, yang terserak di berbagai wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perjalanan Rajasanagara tak ubahnya perjalanan yang dilakukan oleh para sejarawan atau para arkeolog masa kini, ketika melakukan penelitian atau peninjauan.
Candi Jabung yang ditahbiskan sebagai bangunan suci dengan nama Bajrajinaparamitapura, dalam Nagarakrtagama disebut Candi Kalayu, sementara dalam Kitab Pararaton disebut Candi Sajabung, merupakan bangunan suci untuk pemujaan bagi tokoh wanita keluarga HayamWuruk, bernama Brha Gundal, didirikan pada pertengahan abad XIV Masehi, dimana kepemimpinan dwi tunggal Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada/Pu Mada.
Baik Nagarakrtagama maupun Pararaton menyebut perjalanan budaya Hayam Wuruk bertujuan terutama untuk menghayati keadaan masyarakat yang dipimpinnya, tak ubahnya semacam “sidak” (inspeksi mendadak) yang biasa dilakukan oleh para pejabat masa kini. Perjalanan itu dimulai pada tahun ketiga masa pemerintahannya, yakni 1275 C/1353 M, lalu pada 1354 M ke Lasem, pada 1357 melewati Lodaya. Selanjutnya pada tahun 1361 M Hayam Wuruk beserta rombongannya melakukan peninjauan ke Palah untuk mengadakan pemujaan, yang kemudian diteruskan ke Lwang Wentar, Balitar, Jime dan terus ke Simping untuk “nyekar” atau ziarah ke makam kakeknya (R. Wijaya/Krtarajasa) sekaligus memperbaiki Candi Sumberjati tersebut.
Hayam Wuruk: Sang pemugar pertama
Secara umum, profil Candi Jabung dapat dijalaskan sebagai berikut. Candi mengharap ke arah barat, batur dan kaki candi berdenah persegi, badan candi silindrik, dan atap candi berakhir dengan ke muncak berbentuk stupa/dagoba (telah runtuh). Candi dengan nama tahbis Brajajinaparamitapura ini, pada bagian batur dan kaki candi terdapat relie hias bermotif sulur-suluran dan medallion, sementara pada badan candi dipahatkan adegan-adegan ceritera Sri Tanjung.
Pada ambang relung-relung candi terdapat hiasan kepala kala motif Jawa Timur, serta sebuah relief rosetta dengan angka tahun 1276 Caka (1354 M). Dalam bilik candi masih terdapat lapik arca, sedangkan pada atap candi dipahatkan motif hias sulur-suluran.
Angka tahun 1276 Caka/1354 Masehi, sangat boleh jadi bkanlah angka tahun pembangunan candi karena baik menurut Nagarakrtagama maupun Pararaton, angka tersebut menunjuk pada pertanggalan perjalanan Hayam Wuruk ke candi tersebut dan sekaligus memperbaiki/memugar candi pemujaan untuk Raden Wijaya itu. Dalam catatan sejarah, Hayam Wuruk-lah raja pertama Nusantara, yang disebut-sebut melakukan perjalanan ke berbagai bangunan/monumen arkeologis dan melaksanakan pemugaran-pemugaran pertama di berbagai candi.
Perjalanan dengan rombongan terbesar, yang diiringi oleh seluruh keluarga raja (Bhatara Sapta Prabhu), para menteri, pemimpin agama dan wakil golongan masyarakat dilakukan pada tahun 1281 Caka/1359 Masehi. Dan baru pada tahun 1362 Hayam Wuruk melaksanakan upacara Craddha (upacara pelepasan roh dalam mitologi Hidu-Buddha, sehingga ia wafat benar-benar memperoleh kelepasan/moksha atau nirwana).
Selain sebagai inspeksi mendadak dan peziarahan, terdapat pula anggapan bahwa perjalanan Hayam Wuruk itu merupakan salah satu dharma yang harus dijalaninya, yang mengandung arti magis, yakni untuk penyatuan dan kesatuan (unity) wilayah kerajaannya.
Dalam usaha memelihara kesatuan tersebut, antara lain tampak dari perhatian “pusat” terhadap “daerah”, misalnya melalui perbaikan-perbaikan berbagai tempat penyeberangan di Sungai Solo dan Brantas, serta perbaikan bendungan Kali Konto, Hayam Wuruk juga memperindah candi pemujaan Tribhuwanattunggadewi di Panggih, menambah candi perwara di Palah (Panataran-Blitar, 1369 M) serta sebuah pendapa untuk kepentingan persajian (1375 M). Selain memugar Candi Jabung pada tahun 1354 M, Hayam Wuruk juga menyelesaikan pembangunan dua buah candi di Kediri, yakni Candi Surawana dan Tigawangi. Akhirnya pada 1371 didirikanlah Candi Pari di dekat Porong-Jawa Timur, yang memiliki bentuk khas menyerupai bentuk percandian di Champa.
Makna Keagamaannya
Di Jawa Timurlah faham-faham keagamaan Hindu dan Budha mengalami sinkretisme. Dewa Agung, apakah itu Siwa atau Budha, dijelmakan dalam berbagai bentuk yang berlainan satu dengan lainnya. Kecenderungan penyatuan ini kemudian lambat laun terjelmakan pula dalam seni bangunan. Karena itu pula, seringkali gelar-gelar raja merupakan gabungan istilah yang terdapat di kedua agama tersebut, termasuk pula bagi istilah pemakamannya.
Sebagai contoh, setelah mati, Krtanagara dianggap pulang ke Jinendralaya karena raja ini dianggap sebagai seorang Jina, tetapi sekaligus pula disebutkan moteng ing Civabuddhalaya. Demikian pula misalnya Wisnuwardhana disebut meninggal dan dimakamkan di Wareli (Waleri?) sebagai Civa dan Jajaghu (Candi Jago) sebagai Amoghapaca.
Mengingat bahwa tradisi perawatan jenazah pada kepercayaan Hindu maupun Buddha dan kremasi (pembakaran) sementara abunya dibuang di sungai/laut, maka dalam menyebut kematian dan pemakaman dikenal berbagai istilah ganda, seperti lumah ri (yang dimakamkan di), mokteng (yang moksa di) atau lina ri (yang meninggal di).
Pada masa eksistensi Majapahit berkembang pemikiran bahwa Hundu dan Buddha merupakan penampilan bentuk berbeda atas kebenaran absolut yang sama, yang dalam praktek ritus keagamaan sehari-hari keduanya dibaurkan. Secara tidak langsung kita dapat melihat simbolisasi kedua keagamaan tersebut dalam bentuk-bentuk bangunan. Pada Candi Jago didapat pahatan relief yang mengangkat legenda yang terdapat dalam baik agama Buddha maupun Hindu. Candi Jawi memiliki arca siwaitis, tetapi berakhir dengan kemuncak stupa. Dari sumber sastera Bali dianggap tidak ada perbedaan esensial antara Siwa dan Buddha, bahkan Mpu Tantular menganggap bahwa lima perwujudan Siwa sama dengan lima Jina.
Candi Jabung juga merupakan candi yang memiliki perpaduan siwaisme dan buddhisme. Pahatan relief Sri Tanjung siwaistik, sementara kemuncak stupa buddhistik. Legenda Sri Tanjung pada dasarnya mengisahkan fitnahan terhadap Sri Tanjung, seorang dewi yang sangat cantik, isteri Raden Sidapaksa, yang berakhir dengan kematian/pembunuhan Sri Tanjung.
Karena tidak bersalah, maka Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh para dewa dan bertempat tinggal di kediamannya semula sebelum kawin. Raden Sidapaksa disuruh oleh Betari Durga untuk pergi ke kediaman Sri Tanjung, namun isteri yang teraniaya ini menolak untuk rujuk kembali, kecuali apabila Raden Sidapaksa dapat membunuh dan membawa rambut (si pemfitnah) untuk dijadikan kesed (pembersih kaki) Sri Tanjung. Setelah permintaan tersebut terlaksana, suami-isteri itu kembali bersama-sama.
Relief legenda Sri Tanjung selain dipahatkan di Candi Jabung juga terdapat pada panil-panil di Candi Surawana, di mana terdapat pula pahatan ceritera Bubuksah dan Gagakaking serta Arjunawiwaha. Candi Jabung merupakan salah satu bukti arsitektur yang memadukan falsafah/keagamaan Hindu dan Buddha secara bersamaan.
Candi Jabung Sebagai Cagar Budaya
Pemugaran pertama Candi Jabung pada 1354 Masehi, untuk lebih dari 500 tahun kemudian terlupakan dari jamahan upaya untuk melestarikannya. Candi bata berukuran panjang 13,13 m, lebar 9,6 m dan tinggi 16,42 m tersebut baru dipugar kembali pada 1983-1985. Candi yang secara tipologis memiliki kesamaan bentuk prinsip dengan candi-candi Muara Takus (Riau) dan Biaro Bahal (Padang Sidempuan) tersebut merupakan salah satu benda cagar budaya yang sampai sekarang terus diupayakan pelestariannya.
Kegiatan pemugaran pada 1983-1985 meliputi pemasangan perancah, pendokumentasian dan penggambaran, pembongkaran (dismatling) bagian-bagian yang rusak, pemasangan/sisipan batu isian dan konservasi batuan seta lingkungannya. Dalam kegiatan tersebut ditemui sedikit hambatan, yakni kesulitan memperoleh bata merah berukuran besar di Desa Jabung Candi maupun di wilayah Kecamatan Paiton, sehingga untuk mengatasinya terpaksa didatangkan dari daerah lain.
Candi Jabung yang diresmikan purna pugarnya oleh Dirjen Kebudayaan pada 5-11-87 dan bercorak khas ini harus tetap lestari dan eksis dalam lingkungan yang serasi. Pemanfaatan bagi kepentingan pariwisata dalam fungsinya sebagai salah satu obyek wisata budaya, bagaianapun harus mengacu pada UU No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan peraturan perundang-undangan lain yang belum pernah dicabut/masih diberlakukan.
Pertimbangan pelestarian benda cagar budaya atas dasar bahwa benda-benda tersebut merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pemanfaatan Candi Jabung bagi kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan pariwisata (Pasal 19 ayat 1) tidak boleh bertentangan dengan upaya-upaya perlindungan dan pelestariannya.
0 komentar:
Posting Komentar